Transformasi digital yang dilakukan inklusif dapat membawa usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM naik kelas. Di sisi lain, para pelaku UMKM masih menghadapi kendala dalam mengakses pembiayaan.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti menyampaikan ”resep” itu pada penutupan Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia (FEKDI) dan Karya Kreatif Indonesia 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, secara hibrida, Minggu (4/8/2024).
Destry menjelaskan, acara yang berlangsung pada 1-4 Agustus 2024 itu mengusung tema ”Sinergi Memperkuat Ekonomi dan Keuangan Digital, serta Inklusif untuk Pertumbuhan yang Berkelanjutan”. Presiden Joko Widodo dalam sambutan pembukaan acara tersebut juga berpesan agar transformasi digital dapat dilakukan adil dan merata.
”Beliau (Presiden) memberikan pesan, yang saya rasa pesan ini sangat dalam sekali untuk kita semua, agar bisa terus kita melanjutkan apa yang telah dilakukan selama ini, yaitu transformasi digital harus dilakukan secara inklusif, berkeadilan, sehingga seluruh lapisan masyarakat mempunyai akses dan kesempatan yang sama, yang juga didukung dengan aspek perlindungan konsumen,” katanya.
Menurut Destry, transformasi digital harus dilakukan secara merata, termasuk dengan membuka akses pembiayaan bagi UMKM yang selama ini belum optimal. Ini mengingat UMKM telah berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 60 persen.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dan Ernst and Young (EY), terdapat peningkatan kesenjangan antara pasokan dan permintaan pendanaan UMKM hingga tahun 2026. Kesenjangan tersebut diproyeksikan mencapai Rp 4.300 triliun. Kemampuan pendanaan untuk UMKM oleh lembaga jasa keuangan pada periode tersebut hanya Rp 1.900 triliun.
Oleh sebab itu, akses pembiayaan dan digitalisasi tidak hanya berdampak positif bagi para pelaku UMKM, tetapi juga bagi ekonomi nasional. UMKM yang naik kelas dan masuk rantai pasok global akan menambah perolehan devisa hasil ekspor.
”Pada saat UMKM bisa naik kelas, kita akan menerima hasil ekspor. Makin banyak hasil ekspor yang kita terima, kita punya suplai dollar AS makin banyak sehingga rupiahnya tentunya kita berharap tidak terus tertekan. Jadi, ekspor kita bisa kombinasikan atau bisa terus kita tingkatkan dengan cara mendorong UMKM itu untuk naik kelas,” tutur Destry.
Kendala UMKM
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia Hermawati Setyorinny menyampaikan, program pembiayaan UMKM, seperti kredit usaha rakyat (KUR), memang bagus. Namun, banyak pelaku UMKM tidak memperoleh manfaat dari akses pembiayaan tersebut.
Beberapa kendala yang dialami para pelaku UMKM itu, antara lain, latar belakang pendidikan yang rendah dan pengetahuan mengenai produk kredit yang minim. Ini membuat para pelaku tidak tahu cara memperoleh kredit mengingat terdapat sejumlah dokumen dan persyaratan yang harus dipenuhi secara administratif.
”Beberapa yang seharusnya tidak wajib, seperti agunan, tetapi tetap diminta agunan. Kemudian, adanya persyaratan lolos SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan) dan SIKP (Sistem Informasi Kredit Program), kadang kalau UMKM ada pinjaman, misalnya mendapatkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) UMKM yang Rp 2,4 juta, nah itu, kan, pasti KTP-nya didatakan, otomatis dia tidak bisa mengajukan akses permodalan lagi,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta.
Kendala tersebut lebih kurang juga terekam dalam Hasil Pemantauan dan Evaluasi Penyaluran KUR pada 2023 oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro Kecil. Hasil pemantauan itu mengindikasikan, masih terdapat penyaluran KUR yang belum sesuai dengan peraturan dan ketentuan pedoman yang berlaku. Salah satunya adalah dimintanya agunan tambahan yang seharusnya tidak dikenakan kepada debitor KUR dengan plafon di bawah Rp 100 juta.
Hermawati menambahkan, kendala selanjutnya ialah masih minimnya sosialisasi mengenai produk perbankan, seperti KUR, bunga kredit, agunan, perizinan, proses pengajuan, serta kebijakan pemerintah yang seharusnya meringankan beban UMKM melalui restrukturisasi. Akibatnya, banyak UMKM yang tidak mendapatkan kesempatan pembiayaan atau kelonggaran kredit karena minimnya informasi dari perbankan.
”Kemarin ada program pemerintah, misalnya restrukturisasi kredit. Pihak bank biasanya tidak memberikan informasi secara aktif kepada para debitor. Akhirnya, kredit tidak terbayar sehingga masuk blacklist, berarti masuk di NPL (nonperforming loan). Nah itu yang jadi kendala, karena akhirnya jadi tidak bisa pinjam lagi,” tuturnya.
Selain itu, Hermawati melanjutkan, masih banyak pelaku UMKM yang juga tidak mendapatkan pendampingan setelah mendapatkan akses kredit, serta masih kurangnya pengetahuan tentang produk keuangan digital. Faktor ini turut menjadi tantangan bagi para pelaku UMKM dalam mengelola usahanya.
Hermawati berharap pemerintah dan bank penyalur KUR dapat memberikan sosialisasi secara intensif terkait program-program kredit UMKM, khususnya KUR. Salah satunya adalah detail persyaratan yang telah ditetapkan. Persyaratan tersebut, misalnya, pinjaman di bawah plafon Rp 100 juta tidak wajib agunan, ketentuan bunga, denda, dan biaya administrasi per bulan, serta kepastian batas waktu persetujuan kredit.
”Nyatanya, di lapangan kredit di bawah Rp 100 juta masih diminta kolateral, meski mungkin besarnya tidak 100 persen dari pinjaman. Harusnya persentase jaminan 70 persen dari pinjaman, tetapi itu diminta hanya BKPP. Artinya, tetap diminta jaminan yang seharusnya tidak boleh karena bisa dengan, misalnya, kontrak kerja dengan pembeli,” tuturnya.
Oleh sebab itu, dibutuhkan keseragaman dalam menerapkan berbagai ketentuan pembiayaan, terutama dalam menafsirkan produk perbankan karena bank yang sama sekalipun belum tentu sama dalam mengimplementasikan produk. Selain itu , para pelaku UMKM juga membutuhkan program literasi dan manajemen keuangan, serta mengenai penggunaan produk digital lain, seperti QRIS.
Penilaian kredit
Sebelumnya, Kepala Departemen Pengaturan dan Perizinan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Djoko Kurnijanto mengatakan, penyaluran kredit UMKM, khususnya KUR, terus menurun. Hal ini, antara lain, disebabkan nihilnya rekam jejak kredit dari debitor sehingga perbankan atau lembaga jasa keuangan kesulitan mengkaji kelayakan debitor.
”Ketika bank hendak memberikan kredit, bank akan melakukan scoring (penilaian) berdasarkan rekam jejak kredit atau kondisi finansial debitor. Lalu, bagaimana untuk individual atau UMKM yang tidak punya histori kredit? Ada mekanisme lain, yaitu innovative credit scoring (ICS),” ujarnya saat acara diskusi dalam rangkaian FEKDI dan KKI 2024 bertajuk ”The Digital Leap: Paving The Way For The Economic and Finance Transformation”, Sabtu (3/8/2024).
ICS atau inovasi penilaian kredit merupakan sistem yang akan menghitung kemampuan bayar seseorang dalam membayar kewajibannya. Kemampuan bayar tersebut dapat diukur melalui transaksi elektronik, seperti pembelian pulsa, pembelian barang di lokapasar, dan transaksi QRIS.
Djoko menjelaskan, penggunaan data tersebut pada gilirannya dapat menggambarkan profil kemampuan bayar seseorang. Dengan demikian, palaku UMKM yang semula dinilai tidak layak mendapatkan kredit karena belum pernah mengambil kredit akan dapat dinilai layak dilihat dari profil kemampuan membayarnya.
”Inilah yang ingin kami upayakan melalui lembaga jasa keuangan yang ada bekerja sama dengan penyelenggara ICS dan penyelenggara Inovasi Keuangan Digital. Inovasi tersebut berpengaruh terhadap proses layanan jasa dan akan meningkatkan kinerja lembaga jasa keuangan ataupun bagi UMKM,” tuturnya.
Sekretaris Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika I Nyoman Adhiarna menambahkan, pembangunan infrastruktur digital merupakan fondasi utama transformasi digital. Namun, ada banyak tantangan yang dihadapi, salah satunya pembangunan infrastruktur digital yang belum optimal.
Padahal, hasil kajian Google, Temasek, dan Bain pada 2023 menunjukkan, potensi tingkat pertumbuhan secara tahunan (CAGR) ekonomi digital Indonesia pada 2023-2025 sebesar 15 persen. Potensi tersebut akan terus bertumbuh hingga 210-360 miliar dollar AS pada 2030.
Meski demikian, jangkauan jaringan 5G di Indonesia pada 2023 masih sebesar 16 persen, sedangkan jangkauan jaringan 4G telah mencapai 96 persen. Selain itu, kecepatan unduh jaringan yang terhubung ke rumah-rumah atau gedung (fixed broadband) Indonesia paling rendah di kawasan Asia Tenggara.
”Ini merupakan tantangan yang harus kita hadapi ke depan kalau kita mau berhasil mendorong perkembangan ekonomi digital di Tanah Air,” tuturnya.
Terkait UMKM, Adhiarna menyebut, data pengelolaan UMKM yang dimiliki masing-masing kementerian/lembaga tidak terhubung satu sama lain. Oleh sebab itu, dibutuhkan sistem penghubung layanan pemerintah agar data tersebut dapat terkelola dengan baik.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/08/04/pemerataan-akses-digital-kunci-umkm-naik-kelas/