deretan tabungf LPG
- IUMKM, NEWS

Menaikan Harga Jadi Pilihan Terakhir

Kenaikan harga elpiji non-subsidi membuat pengusaha makanan dan minuman harus bersiasat agar harga produk tak naik, tapi tetap bisa mendapatkan margin.

JAKARTA – Dunia usaha, terutama sektor makanan dan minuman, berancang-ancang menghadapi kenaikan harga elpiji non-subsidi yang mencapai Rp 2.000 per kilogram. Kenaikan harga ini otomatis mengerek modal produksi para pelaku usaha, dari tingkat usaha mikro, kecil, dan menengah hingga level industri menengah dan besar.

Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan-Minuman Indonesia (Gapmmi), Adhi Lukman, mengatakan industri selama ini tidak memakan gas dan bahan bakar subsidi sehingga biaya produksinya bergantung pada harga energi komersial. “Kondisi ini merupakan rangkaian tantangan bagi industri makanan dan minuman, dari kenaikan harga komoditas bahan baku, biaya logistik, hingga harga energi,” ujar Adhi kepada Tempo, kemarin.

Meski menghadapi rentetan kenaikan harga itu, Adhi mengatakan para pelaku usaha selalu berupaya sebisa mungkin tak menaikkan harga jual produknya. Upaya menahan harga itu dilakukan, misalnya, dengan mensubstitusi bahan baku, mengefisienkan proses sepanjang rantai pasok, dan merelakan margin keuntungannya tergerus.

Namun, pada titik tertentu, para pelaku usaha akhirnya tidak bisa lagi bertahan dan harus menaikkan harga. “Bila sudah tidak bisa (bertahan), kenaikan harga atau perubahan ukuran jual menjadi solusi terakhir,” tutur Adhi.

Wakil Ketua Umum Bidang Restoran Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Emil Arifin, mengimbuhkan, rata-rata beban harga elpiji pada usaha restoran berdampak sebesar 3-5 persen dari total biaya, bergantung pada model restorannya. Karena itu, kenaikan harga elpiji sebesar 12-15 persen akan membuat para pelaku usaha mesti berpikir untuk menekan biaya pada pos lain guna menjaga harga jual.

“Restoran yang modelnya boros energi, mau tidak mau, harus mulai memodifikasi alur prosesnya agar lebih efisien. Hal lain yang bisa dilakukan mungkin berupa perubahan pada menu atau membuat menu pengganti,” ujar dia.

Setali tiga uang, Ketua Umum Akumandiri—asosiasi industri usaha mikro, kecil, dan menengah—Hermawati Setyorinny mengatakan para pelaku UMKM memiliki berbagai alternatif strategi untuk menekan biaya produksi tanpa menekan kualitas. Misalnya dengan mengganti bahan baku produk. Namun ada pula pelaku usaha yang memilih mengurangi kuantitas atau volume produk maupun menaikkan harga.

Hermawati justru mempersoalkan pengumuman atau sosialisasi kenaikan harga elpiji yang tidak dilakukan dari jauh-jauh hari. “Saya berharap pemerintah bisa memberikan penjelasan kepada masyarakat dari jauh-jauh hari. Meskipun kami paham bahwa alasan kenaikan harga gas elpiji dan BBM non-subsidi disebabkan oleh perkembangan harga minyak dan gas dunia.”

Hermawati membenarkan bahwa harga elpiji memakan porsi biaya cukup besar bagi pelaku usaha sektor makanan dan minuman. Apalagi kenaikan harga itu sebesar Rp 2.000 per kilogram atau bisa mencapai Rp 11 ribu untuk elpiji 5,5 kilogram dan Rp 24 ribu bagi pengguna elpiji 12 kilogram. “(Kenaikan harga ini) sangat terasa, terutama bagi para ibu rumah tangga.”

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, mengatakan kenaikan harga elpiji dan bahan baku lainnya sangat mungkin menyebabkan harga produk makanan-minuman terkerek naik. Bila hal itu terjadi, artinya kenaikan harga ditransmisikan langsung kepada konsumen.

Namun ia yakin bahwa para pelaku usaha akan berupaya agar kenaikan harga itu tidak mengurangi daya beli konsumen. “Tapi tetap, tanpa ada kenaikan harga (produk), ya, berat juga, pasti ada kenaikan. Tapi pasti pengusaha akan mengatur kenaikan harganya agar masih bisa diserap oleh pasar,” ujarnya. Dengan demikian, pasar akan mencari titik keseimbangan baru.

Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, memperkirakan kenaikan harga produk energi non-subsidi itu akan memberikan dampak tekanan pada inflasi. Akibatnya, target pemerintah menjaga inflasi di kisaran maksimum 4 persen diperkirakan sulit tercapai.

“Harga elpiji non-subsidi sudah berkali-kali naik sejak awal 2022. Jika sekarang kembali naik dan diikuti harga BBM non-subsidi yang ikut naik, hal ini mengindikasikan lemahnya kapasitas fiskal untuk menahan administered prices,” ujar Yusuf. Hal ini diperkirakan menguatkan ekspektasi inflasi ke depan.

Jika ekspektasi inflasi sulit dikendalikan, ditambah banyaknya wacana kenaikan harga di masa depan, hal itu dapat memicu kenaikan permintaan sebagai antisipasi kenaikan harga. Akibatnya, tekanan permintaan ke harga akan semakin besar. Dengan kondisi saat ini, Yusuf memprediksi inflasi hingga akhir 2022 berpotensi menembus 5 persen.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, yakin kenaikan harga elpiji non-subsidi tidak akan signifikan mengerek inflasi. Musababnya, porsi elpiji non-subsidi dianggap relatif tidak begitu besar terhadap inflasi.

“Kenaikan inflasi tahunan pada Juni menjadi 4,35 persen dibanding pada tahun sebelumnya lebih disebabkan oleh kenaikan harga pangan, seperti cabai karena musim hujan yang panjang,” ujar Iskandar. Ia mengatakan pemerintah akan terus mengendalikan inflasi dengan meningkatkan subsidi dan produksi, serta menjaga kelancaran distribusi barang dan jasa.
Sumber koran.tempo.co