Pro dan Kontra Larangan Social Commerce
- IUMKM, NEWS

Pro dan Kontra Larangan Social Commerce

Pemerintah melarang social commerce seperti TikTok Shop sebagai tempat untuk bertransaksi jual beli. Keputusan tersebut diambil dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 25 September 2023.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mengatakan, pelarangan itu untuk mewujudkan perdagangan yang adil atau fair trade. Budi menyebut, model social-commerce seperti ini akan menciptakan iklim bisnis yang tidak adil, khususnya bagi pelaku UMKM dalam negeri.

“Jadi, bagaimana sosial media ini tidak serta-merta menjadi e-commerce karena apa, karena ini algoritma nih prinsipnya gini negara harus hadir melindungi pelaku UMKM dalam negeri kita yang fair jangan barang di sana dibanting harga murah kita klenger,” kata Budi Arie dalam keterangan pers, Senin, (25/9/2023).

Kesepakatan pelarangan ini diambil salah satunya agar tidak seluruh algoritma dikuasai social e-commerce. Kini, social e-commerce hanya diperbolehkan untuk mempromosikan layaknya sebuah iklan, bukan untuk berjualan. Selain itu, langkah ini diambil sebagai upaya pemerintah mencegah penyalahgunaan data pribadi dalam kepentingan bisnis.

Pemisahan Platform

Aturan larangan tersebut akan dicantumkan dalam revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020, ditandatangani, Senin, (25/9). Permendag Nomor 50 Tahun 2020 adalah tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

“Yang pertama nanti isinya sosial commerce itu hanya boleh memfasilitasi promosi barang atau jasa promosi barang jasa tidak boleh transaksi langsung bayar langsung enggak boleh lagi, dia hanya boleh untuk promosi seperti TV, kan, ya, TV kan iklan boleh ya, tapi TV kan enggak jualan. Jadi dia semacam platform digital gitu jadi tugasnya mempromosikan,” kata Mendag Zulhas dalam keterangan pers, Senin, (25/9/2023).

Mendag Zulhas mengatakan, dalam revisi tersebut pemerintah juga akan memisahkan platform social media dan e-commerce. Sebab, ini akan sangat menguntungkan pihak platform yang bisa menggunakan algoritma pengguna untuk mengatur iklan dan sekaligus berjualan.

“Yang kedua tidak ada social media dan ini enggak ada kaitannya jadi dia harus dipisah sehingga tidak algoritmanya itu ya tidak semua dikuasai, dan ini mencegah penggunaan data pribadi untuk kepentingan bisnis,” imbuhnya.

Menurun Drastis

Sebelumnya aturan dikeluarkan, Presiden Jokowi juga mengakui omzet perdagangan di pasar menurun drastis akibat terdampak perdagangan berbasis elektronik melalui media sosial atau social e-commerce.

Hal tersebut disampaikan Presiden saat menjawab pertanyaan wartawan soal tindak lanjut dari banyaknya keluhan pedagang soal TikTok Shop. Menurut Jokowi, omzet penjualan pedagang di sejumlah pasar menjadi anjlok karena perdagangan berbasis online.

“UMKM kita harus dipayungi dari terjangan dunia digital ini. Ini yang sedang dikerjakan oleh pemerintah. Tadi, baru saja kita rapat terbatas memutuskan mengenai sosial media yang digunakan untuk e-commerce. Besok mungkin keluar karena dampaknya memang sangat dahsyat sekali. Kita terlambat hanya berapa bulan saja sudah efeknya kemana-mana,” kata Jokowi, Senin, (25/9/2023).

Dikritik

Namun, keputusan tersebut dikritik pengamat ekonomi digital, Ignatius Untung. Menurutnya, pelarangan itu kurang tepat. Menurut dia, jika alasannya untuk melindungi UMKM lokal, maka tidak tepat jika pemerintah melarang TikTok Shop sebagai tempat bertransaksi.

Sebab, TikTok tidak memiliki produk barang dagangan langsung. Semua produk yang dijual di TikTok pada dasarnya merupakan milik pedagang yang sebagian besar UMKM juga.

“Ketika ada UMKM yang omzetnya turun, kan artinya ada juga yang omzetnya naik. Yang (omzetnya) naik, kan bukan TikTok, karena TikTok enggak punya barang. Yang omzetnya naik pedagang lain, ada yang pakai TikTok ada yang enggak pakai TikTok sehingga kalau begitu posisi TikTok tidak bersaing secara langsung dengan UMKM. Jadi enggak bisa dibilang TikTok ini yang bikin mati UMKM, yang bikin sebagian UMKM susah adalah UMKM lain yang lebih mengerti caranya pakai TikTok,” kata Ignatius kepada KBR, Selasa, (26/9/2023).

Batasi Impor

Ignatius menjelaskan, jika salah satu masalahnya adalah membanjirnya produk impor, maka pemerintah perlu mengawasi kinerja Bea Cukai. Sebab kata dia, Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki menyebut ada 70 persen barang yang dijual di TikTok Shop merupakan impor.

Barang tersebut merupakan impor umum yang sudah membayar bea masuk sehingga tak perlu dipermasalahkan. Yang perlu diatur kata Ignatius ialah bagaimana membatasi datangnya barang impor ke dalam negeri.

“Kalau tujuannya mau menyelamatkan UMKM dari serbuan barang asing, yang harus diatur itu bukan platform-nya apa pun platform-nya itu. Tapi, yang harus diatur adalah bea cukainya bagaimana caranya jangan sampai 70 persen barang masuk,” ucap Ignatius yang juga eks Ketua Indonesia E-Commerce Association (idEa).

Disambut Positif UMKM

Asosiasi Industri Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumandiri) menyambut positif kebijakan pemerintah melarang platform social commerce (s-commerce).

Ketua Umum Akumandiri, Hermawati Setyorinny mengatakan, s-commerce memang perlu dibatasi karena jika media sosial juga digunakan sebagai tempat bertransaksi maka orang yang tak memiliki produk bisa melakukan jual-beli.

Ini berbeda dengan electronic commerce (e-commerce) yang jika ingin berdagang mesti dengan kehadiran produk yang dijual. Menurut dia, munculnya s-commerce membuat UMKM babak belur. Terlebih jika barang yang dijual impor dan lebih murah ketimbang harga produksi dalam negeri.

“Kalau media sosial digunakan untuk berdagang itu dampaknya sangat besar karena di situ berarti bisa juga orang yang enggak punya produk dia bisa jualan di Project S TikTok itu,” kata Hermawati kepada KBR, Selasa, (26/9/2023).

Hermawati menambahkan sejatinya tugas pemerintah tak hanya untuk membatasi media sosial agar tidak menjadi tempat bertransaksi jual-beli. Namun, juga perlu memberdayakan UMKM agar melek digital. Sebab, masih ada pelaku UMKM yang masih belum masuk ke platform perdagangan online.

“Karena memang kekurangan SDM UMKM kita ini belum paham transformasi teknologi dalam memasarkan produknya. Mereka paham WhatsApp, Instagram, tapi inovasi untuk jualannya mereka belum tahu,” ucap Hermawati.

Sumber: kbr.id